Biografi Letnan Jenderal S. Parman: Pahlawan Revolusi dan Ahli Intelijen yang Gugur di Lubang Buaya
Matauli.com - Letnan Jenderal TNI Anumerta Siswondo Parman, atau yang akrab dikenal sebagai S. Parman, merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam kemerdekaan dan penegakan kedaulatan bangsa.
Lahir di Wonosobo pada 4 Agustus 1918, S. Parman tumbuh dalam keluarga yang cukup berada, sehingga ia bisa mendapatkan pendidikan yang cukup baik pada masanya. Sebagai sosok yang penuh semangat dan keberanian, perjalanan hidupnya penuh dengan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, bahkan hingga titik akhir kehidupannya yang tragis.
Masa Kecil dan Pendidikan
Teman-teman, S. Parman memulai pendidikannya di Hollandsch Inlandsche School (HIS) di Wonosobo pada usia 7 tahun. Masa kecilnya tak seperti anak-anak pada umumnya karena berasal dari keluarga kaya, sehingga pendidikan menjadi prioritas dalam hidupnya. Pada tahun 1932, ia melanjutkan pendidikannya ke MULO di Yogyakarta. Di sini, S. Parman berteman dengan tokoh penting lainnya seperti Subadio Sastrosatomo. Meski kehilangan ayahnya pada tahun 1936, S. Parman tetap melanjutkan pendidikannya di AMS bagian B di Yogyakarta. Sosoknya yang gemar berpetualang dan mencintai seni wayang membuatnya sering tampil sebagai dalang.
Meski bercita-cita menjadi sarjana hukum, S. Parman menuruti keinginan orang tuanya untuk menjadi dokter dan melanjutkan studi kedokteran di GHS Jakarta pada tahun 1939. Perjalanan pendidikannya tidak berjalan mulus karena situasi politik yang sedang memanas di Indonesia. Kedatangan pasukan Jepang pada 1 Maret 1942 membuatnya harus meninggalkan studinya dan kembali ke Wonosobo. Keputusan tersebut menjadi titik balik dalam hidupnya yang membawa S. Parman masuk dalam dunia militer dan intelijen.
Terlibat dalam Perang Dunia II dan Menjadi Pegawai Kempetai
Pasukan Jepang yang berupaya menguasai Indonesia memanfaatkan berbagai sumber daya, termasuk kaum muda nasionalis seperti S. Parman. Kemampuan bahasa Inggris yang dimilikinya membuat pasukan Jepang merekrutnya sebagai penerjemah.
Tak hanya itu, S. Parman juga mengikuti Kempetai di beberapa kota di Jawa Tengah, dan akhirnya diangkat sebagai pegawai sipil di Yogyakarta. Di sinilah Parman mulai memperdalam ilmu intelijen, sebuah keterampilan yang kelak sangat membantunya dalam perjuangan kemerdekaan.
Masa Setelah Proklamasi dan Pembentukan BPU
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, S. Parman berperan aktif dalam pembentukan Badan Pengawas Undang-Undang (BPU) di Yogyakarta. Bersama tokoh-tokoh lainnya, ia turut serta dalam upaya merebut senjata dan gedung-gedung yang sebelumnya dikuasai oleh Jepang. Salah satu peristiwa yang cukup terkenal adalah saat BPU, bersama Polisi Istimewa dan BKR, berhasil merebut Gedung Agung di Jalan Malioboro, Yogyakarta. Bendera Jepang, Hinomaru, diturunkan dan digantikan dengan bendera Merah Putih.
Teman-teman, peran S. Parman dalam merebut gedung-gedung ini menjadi bagian penting dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Keberanian dan kegigihannya sebagai salah satu pemimpin BPU membuatnya semakin dikenal di kalangan pejuang kemerdekaan.
Karir Militer dan Intelijen S. Parman
Setelah BKR berubah menjadi TKR pada 5 Oktober 1945, S. Parman diangkat sebagai Kepala Staf Markas Besar Polisi Tentara dengan pangkat Kapten. Keterlibatannya dalam berbagai operasi militer dan intelijen semakin memperkuat posisinya dalam dunia kemiliteran. Pada April 1946, S. Parman menjadi anggota Panitia Untuk Pengembalian Orang Jepang dan Asing (POPDA) yang bertugas mengembalikan tawanan perang ke negara asalnya.
Seiring berjalannya waktu, S. Parman semakin mendalami dunia intelijen. Pengalamannya selama bekerja dengan Kempetai dan keterlibatannya dalam berbagai operasi intelijen membuatnya menjadi salah satu tokoh yang sangat disegani di militer Indonesia. Pada 28 Mei 1948, Polisi Tentara dibubarkan dan digantikan oleh Corps Polisi Militer (CPM), dan S. Parman diangkat sebagai Kepala Staf CPM Jawa dengan pangkat Mayor.
Peristiwa Madiun dan Penangkapan S. Parman
Sayangnya, karir militer S. Parman sempat terganggu akibat Peristiwa Madiun 1948 yang dianggap sebagai pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI). Kakak kandung S. Parman, Ir. Sakirman, terlibat dalam peristiwa tersebut, dan hal ini membuat S. Parman dituduh ikut terlibat. Ia ditahan di penjara Wirogunan bersama kakaknya. Meski begitu, tuduhan tersebut tak terbukti, dan S. Parman akhirnya dibebaskan pada saat Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
Setelah dibebaskan, S. Parman kembali terjun dalam perjuangan gerilya. Keahliannya dalam bidang intelijen membuatnya menjadi salah satu pejuang yang mampu merepotkan Belanda. Pasca Serangan Umum 1 Maret 1949, S. Parman kembali berperan penting dalam membantu mewujudkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Baca juga: Profil Adinda Azani: Perjalanan Karier dan Pesonanya yang Awet Muda
Puncak Karir dan Tragedi G30S
Setelah pengakuan kedaulatan, S. Parman kembali mendapatkan tugas-tugas penting di militer. Ia diangkat sebagai Kepala Staf Gubernur Militer Jakarta Raya pada 1949 dan berhasil menghadapi ancaman pemberontakan APRA di Bandung pada Januari 1950. Setelah itu, S. Parman terus meniti karir hingga akhirnya menjabat sebagai Komandan CPM dan merangkap tugas sebagai Kepala Staf Umum III Angkatan Darat pada tahun 1952.
Karir S. Parman mencapai puncaknya ketika ia diangkat menjadi Asisten I Bidang Intelijen Kementerian/Kepala Staf Angkatan Darat pada tahun 1962, dan pangkatnya naik menjadi Mayor Jenderal pada tahun 1964. Pada masa inilah S. Parman mulai terlibat dalam konflik dengan PKI yang semakin menguat posisinya di Indonesia. Ia dikenal sebagai salah satu perwira yang menentang kebijakan PKI, termasuk rencana pembentukan Angkatan Kelima untuk mempersenjatai buruh dan tani.
Tragisnya, penentangannya terhadap PKI membuat S. Parman menjadi target dalam peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Pada 1 Oktober 1965 dini hari, S. Parman diculik oleh pasukan Cakrabirawa yang dipimpin oleh Serma Satar dan Serma Saat. Ia dibawa ke Lubang Buaya dan menjadi salah satu dari tujuh jenderal yang dibunuh dalam peristiwa tersebut.
Warisan dan Penghargaan
Pada 3 Oktober 1965, jasad S. Parman ditemukan di sumur tua di Lubang Buaya bersama dengan enam jenderal lainnya. Atas jasa-jasanya kepada bangsa, S. Parman dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi pada 5 Oktober 1965. Peninggalan perjuangannya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia akan selalu dikenang.
Teman-teman, kisah hidup S. Parman tidak hanya menunjukkan keberanian dan pengabdian pada bangsa, tetapi juga menunjukkan betapa pentingnya peran intelijen dalam perjuangan kemerdekaan. Hingga saat ini, nama S. Parman selalu dikenang sebagai sosok pahlawan yang tak gentar dalam melawan ketidakadilan dan penjajahan.
Perjuangan S. Parman adalah teladan nyata tentang bagaimana setiap langkah dalam kehidupan, baik besar maupun kecil, dapat membawa perubahan besar bagi bangsa dan negara.